Monday, July 16, 2007

Cara Tepat Memilih Alat Kontrasepsi Keluarga Berencana bagi Wanita

HERTI MARYANI Puslitbang Pelayanan dan Teknologi Kesehatan, Depkes RI

Pendahuluan
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian. Untuk optimalisasi manfaat kesehatan KB, pelayanan tersebut harus disediakan bagi wanita dengan cara menggabungkan dan memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi utama dan yang lain. Juga responsif terhadap berbagai tahap kehidupan reproduksi wanita. Peningkatan dan perluasan pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh wanita.
Banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit. Tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang tersedia, tetapi juga karena metode-metode tersebut mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan nasional KB, kesehatan individual, dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi. Dalam memilih suatu metode, wanita harus menimbang berbagai faktor, termasuk status kesehatan mereka, efek samping potensial suatu metode, konsekuensi terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, besarnya keluarga yang diinginkan, kerjasama pasangan, dan norma budaya mengenai kemampuan mempunyai anak.
Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun demikian, meskipun telah mempertimbangkan untung rugi semua kontrasepsi yang tersedia, tetap saja terdapat kesulitan untuk mengontrol fertilitas secara aman, efektif, dengan metode yang dapat diterima, baik secara perseorangan maupun budaya pada berbagai tingkat reproduksi. Tidaklah mengejutkan apabila banyak wanita merasa bahwa penggunaan kontrasepsi terkadang problematis dan mungkin terpaksa memilih metode yang tidak cocok dengan konsekuensi yang merugikan atau tidak menggunakan metode KB sama sekali.
Perasaan dan kepercayaan wanita mengenai tubuh dan seksualitasnya tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan kontrasepsi. Banyak wanita tidak bersedia mengubah siklus normalnya, karena takut bahwa perdarahan yang lama dapat mengubah pola hubungan seksual dan dapat mendorong suami berhubungan seks dengan wanita lain. Siklus yang memanjang atau perdarahan intermiten dapat membatasi partisipasi dalam aktivitas keagamaan maupun budaya. Oleh karena itu, pendapat suami mengenai KB cukup kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode KB oleh istri. Karena wanita mempunyai semacam kendali apabila mereka bertanggung jawab dalam penggunaan kontrasepsi. Dilain pihak, mereka juga dapat merasa kecewa karena harus menolak permintaan seks pasangannya dan memikul beban berat dari setiap efek samping dan risiko kesehatan. Wanita mungkin takut, karena alasan kesopanan atau rasa malu, untuk berbicara dengan pasangannya, baik tentang KB maupun menolak keinginan pasangannya untuk berhubungan ataupun mempunyai anak. Akhirnya, beberapa wanita memilih menggunakan kontrasepsi tanpa sepengetahuan pasangannya.
Dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa cara dan pemakaian alat kontrasepsi, serta kelebihan dan kekurangan masing-masing kontrasepsi. Tulisan ini diharapakan dapat memberi masukan dan menambah pengetahuan bagi wanita untuk memilih alat kontrasepsi yang tepat.

Berbagai Cara Kontrasepsi
Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut. Ada dua pembagian cara kontrasepsi, yaitu cara kontrasepsi sederhana dan cara kontrasepsi moderen (metode efektif).

Cara Kontrasepsi Sederhana
Kontrasepsi sederhana terbagi lagi atas kontrasepsi tanpa alat dan kontrasepsi dengan alat/obat. Kontarsepsi sederhana tanpa alat dapat dilakukan dengan senggama terputus dan pantang berkala. Sedangkan kontarsepsi dengan alat/obat dapat dilakukan dengan menggunakan kondom, diafragma atau cup, cream, jelly, atau tablet berbusa (vaginal tablet).

Cara Kontrasepsi Moderen/Metode Efektif
Cara kontrasepsi ini dibedakan atas kontrasepsi tidak permanen dan kontrasepsi permanen. Kontrasepsi permanen dapat dilakukan dengan pil, AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), suntikan, dan norplant. Sedangkan cara kontrasepsi permanen dapat dilakukan dengan metode mantap, yaitu dengan operasi tubektomi (sterilisasi pada wanita) vasektomi (sterilisasi pada pria).

Senggama Terputus
Merupakan cara kontrasepsi yang paling tua. Senggama dilakukan sebagaimana biasa, tetapi pada puncak senggama, alat kemaluan pria dikeluarkan dari liang vagina dan sperma dikeluarkan di luar. Cara ini tidak dianjurkan karena sering gagal, karena suami belum tentu tahu kapan spermanya keluar.

Pantang Berkala (Sistem Kalender)
Cara ini dilakukan dengan tidak melakukan senggama pada saat istri dalam masa subur. Cara ini kurang dianjurkan karena sukar dilaksanakan dan membutuhkan waktu lama untuk ‘puasa’. Selain itu, kadang juga istri kurang terampil dalam menghitung siklus haidnya setiap bulan.

Kondom/Diafragma
Kondom merupakan salah satu pilihan untuk mencegah kehamilan yang sudah populer di masyarakat. Kondom adalah suatu kantung karet tipis, biasanya terbuat dari lateks, tidak berpori, dipakai untuk menutupi zakar yang berdiri (tegang) sebelum dimasukkan ke dalam liang vagina. Kondom sudah dibuktikan dalam penelitian di laboratorium sehingga dapat mencegah penularan penyakit seksual, termasuk HIV/AIDS.
Kondom mempunyai kelebihan antara lain mudah diperoleh di apotek, toko obat, atau supermarket dengan harga yang terjangkau dan mudah dibawa kemana-mana. Selain itu, hampir semua orang bisa memakai tanpa mengalami efek sampingan. Kondom tersedia dalam berbagai bentuk dan aroma, serta tidak berserakan dan mudah dibuang. Sedangkan diafragma adalah kondom yang digunakan pada wanita, namun kenyataannya kurang populer di masyarakat.

Cream, Jelly, atau Tablet Berbusa
Semua kontrasepsi tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam liang vagina 10 menit sebelum melakukan senggama, yaitu untuk menghambat geraknya sel sperma atau dapat juga membunuhnya. Cara ini tidak populer di masyarakat dan biasanya mengalami keluhan rasa panas pada vagina dan terlalu banyak cairan sehingga pria kurang puas.

Pil
Pil adalah obat pencegah kehamilan yang diminum. Pil telah diperkenalkan sejak 1960. Pil diperuntukkan bagi wanita yang tidak hamil dan menginginkan cara pencegah kehamilan sementara yang paling efektif bila diminum secara teratur. Minum pil dapat dimulai segera sesudah terjadinya keguguran, setelah menstruasi, atau pada masa post-partum bagi para ibu yang tidak menyusui bayinya. Jika seorang ibu ingin menyusui, maka hendaknya penggunaan pil ditunda sampai 6 bulan sesudah kelahiran anak (atau selama masih menyusui) dan disarankan menggunakan cara pencegah kehamilan yang lain.
Pil dapat digunakan untuk menghindari kehamilan pertama atau menjarangkan waktu kehamilan-kehamilan berikutnya sesuai dengan keinginan wanita. Berdasarkan atas bukti-bukti yang ada dewasa ini, pil itu dapat diminum secara aman selama bertahun-tahun. Tetapi, bagi wanita-wanita yang telah mempunyai anak yang cukup dan pasti tidak lagi menginginkan kehamilan selanjutnya, cara-cara jangka panjang lainnya seperti spiral atau sterilisasi, hendaknya juga dipertimbangkan. Akan tetapi, ada pula keuntungan bagi penggunaan jangka panjang pil pencegah kehamilan. Misalnya, beberapa wanita tertentu merasa dirinya secara fisik lebih baik dengan menggunakan pil daripada tidak. Atau mungkin menginginkan perlindungan yang paling efektif terhadap kemungkinan hamil tanpa pembedahan. Kondisi-kondisi ini merupakan alasan-alasan yang paling baik untuk menggunakan pil itu secara jangka panjang.

Jenis-jenis Pil
Pil gabungan atau kombinasi Tiap pil mengandung dua hormon sintetis, yaitu hormon estrogen dan progestin. Pil gabungan mengambil manfaat dari cara kerja kedua hormon yang mencegah kehamilan, dan hampir 100% efektif bila diminum secara teratur.
Pil berturutan Dalam bungkusan pil-pil ini, hanya estrogen yang disediakan selama 14—15 hari pertama dari siklus menstruasi, diikuti oleh 5—6 hari pil gabungan antara estrogen dan progestin pada sisa siklusnya. Ketepatgunaan dari pil berturutan ini hanya sedikit lebih rendah daripada pil gabungan, berkisar antara 98—99%. Kelalaian minum 1 atau 2 pil berturutan pada awal siklus akan dapat mengakibatkan terjadinya pelepasan telur sehingga terjadi kehamilan. Karena pil berturutan dalam mencegah kehamilan hanya bersandar kepada estrogen maka dosis estrogen harus lebih besar dengan kemungkinan risiko yang lebih besar pula sehubungan dengan efek-efek sampingan yang ditimbulkan oleh estrogen.
Pil khusus – Progestin (pil mini) Pil ini mengandung dosis kecil bahan progestin sintetis dan memiliki sifat pencegah kehamilan, terutama dengan mengubah mukosa dari leher rahim (merubah sekresi pada leher rahim) sehingga mempersulit pengangkutan sperma. Selain itu, juga mengubah lingkungan endometrium (lapisan dalam rahim) sehingga menghambat perletakan telur yang telah dibuahi.
Kontra indikasi Pemakaian Pil Kontrasepsi pil tidak boleh diberikan pada wanita yang menderita hepatitis, radang pembuluh darah, kanker payudara atau kanker kandungan, hipertensi, gangguan jantung, varises, perdarahan abnormal melalui vagina, kencing manis, pembesaran kelenjar gondok (struma), penderita sesak napas, eksim, dan migraine (sakit kepala yang berat pada sebelah kepala).
Efek Samping Pemakaian Pil Pemakaian pil dapat menimbulkan efek samping berupa perdarahan di luar haid, rasa mual, bercak hitam di pipi (hiperpigmentasi), jerawat, penyakit jamur pada liang vagina (candidiasis), nyeri kepala, dan penambahan berat badan.
AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) AKDR atau IUD (Intra Uterine Device) bagi banyak kaum wanita merupakan alat kontrasepsi yang terbaik. Alat ini sangat efektif dan tidak perlu diingat setiap hari seperti halnya pil. Bagi ibu yang menyusui, AKDR tidak akan mempengaruhi isi, kelancaran ataupun kadar air susu ibu (ASI). Namun, ada wanita yang ternyata belum dapat menggunakan sarana kontrasepsi ini. Karena itu, setiap calon pemakai AKDR perlu memperoleh informasi yang lengkap tentang seluk-beluk alat kontrasepsi ini.

Jenis-jenis AKDR di Indonesia
Copper-T AKDR berbentuk T, terbuat dari bahan polyethelen di mana pada bagian vertikalnya diberi lilitan kawat tembaga halus. Lilitan kawat tembaga halus ini mempunyai efek antifertilisasi (anti pembuahan) yang cukup baik.
Copper-7 AKDR ini berbentuk angka 7 dengan maksud untuk memudahkan pemasangan. Jenis ini mempunyai ukuran diameter batang vertikal 32 mm dan ditambahkan gulungan kawat tembaga (Cu) yang mempunyai luas permukaan 200 mm2, fungsinya sama seperti halnya lilitan tembaga halus pada jenis Coper-T.
Multi Load AKDR ini terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan kiri dan kanan berbentuk sayap yang fleksibel. Panjangnya dari ujung atas ke bawah 3,6 cm. Batangnya diberi gulungan kawat tembaga dengan luas permukaan 250 mm2 atau 375 mm2 untuk menambah efektivitas. Ada 3 ukuran multi load, yaitu standar, small (kecil), dan mini.
Lippes Loop AKDR ini terbuat dari bahan polyethelene, bentuknya seperti spiral atau huruf S bersambung. Untuk meudahkan kontrol, dipasang benang pada ekornya. Lippes Loop terdiri dari 4 jenis yang berbeda menurut ukuran panjang bagian atasnya. Tipe A berukuran 25 mm (benang biru), tipe B 27,5 mm 9 (benang hitam), tipe C berukuran 30 mm (benang kuning), dan 30 mm (tebal, benang putih) untuk tipe D. Lippes Loop mempunyai angka kegagalan yang rendah. Keuntungan lain dari pemakaian spiral jenis ini ialah bila terjadi perforasi jarang menyebabkan luka atau penyumbatan usus, sebab terbuat dari bahan plastik.
Pemasangan AKDR Prinsip pemasangan adalah menempatkan AKDR setinggi mungkin dalam rongga rahim (cavum uteri). Saat pemasangan yang paling baik ialah pada waktu mulut peranakan masih terbuka dan rahim dalam keadaan lunak. Misalnya, 40 hari setelah bersalin dan pada akhir haid. Pemasangan AKDR dapat dilakukan oleh dokter atau bidan yang telah dilatih secara khusus. Pemeriksaan secara berkala harus dilakukan setelah pemasangan satu minggu, lalu setiap bulan selama tiga bulan berikutnya. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan setiap enam bulan sekali.

Kontra indikasi pemasangan AKDR:
Belum pernah melahirkan
Adanya perkiraan hamil
Kelainan alat kandungan bagian dalam seperti: perdarahan yang tidak normal dari alat kemaluan, perdarahan di leher rahim, dan kanker rahim.
Keluhan-keluhan pemakai AKDR Keluhan yang dijumpai pada penggunaan AKDR adalah terjadinya sedikit perdarahan, bisa juga disertai dengan mules yang biasanya hanya berlangsung tiga hari. Tetapi, jika perdarahan berlangsung terus-menerus dalam jumlah banyak, pemakaian AKDR harus dihentikan. Pengaruh lainnya terjadi pada perangai haid. Misalnya, pada permulaan haid darah yang keluar jumlahnya lebih sedikit daripada biasa, kemudian secara mendadak jumlahnya menjadi banyak selama 1--2 hari. Selanjutnya kembali sedikit selama beberapa hari. Kemungkinan lain yang terjadi adalah kejang rahim (uterine cramp), serta rasa tidak enak pada perut bagian bawah. Hal ini karena terjadi kontraksi rahim sebagai reaksi terhadap AKDR yang merupakan benda asing dalam rahim. Dengan pemberian obat analgetik keluhan ini akan segera teratasi. Selain hal di atas, keputihan dan infeksi juga dapat timbul selama pemakaian AKDR.
Ekspulsi Selain keluhan-keluhan di atas, ekspulsi juga sering dialami pemakai AKDR, yaitu AKDR keluar dari rahim. Hal ini biasanya terjadi pada waktu haid, disebabkan ukuran AKDR yang terlalu kecil. Ekspulsi ini juga dipengaruhi oleh jenis bahan yang dipakai. Makin elastis sifatnya makin besar kemungkinan terjadinya ekspulsi. Sedangkan jika permukaan AKDR yang bersentuhan dengan rahim (cavum uteri) cukup besar, kemungkinan terjadinya ekspulsi kecil.
Lama Pemakaian AKDR Sampai berapa lama AKDR dapat dipakai? Hal ini sering menjadi pertanyaan. Sebenarnya, AKDR ini dapat terus dipakai selama pemakai merasa cocok dan tidak ada keluhan. Untuk AKDR yang mengandung tembaga, hanya mampu berfungsi selama 2--5 tahun, tergantung daya dan luas permukaan tembaganya. Setelah itu harus diganti dengan yang baru.

Suntikan Kontrasepsi suntikan
Pencegah kehamilan yang pemakaiannya dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat tersebut pada wanita subur. Obat ini berisi Depo Medorxi Progesterone Acetate (DMPA). Penyuntikan dilakukan pada otot (intra muskuler) di bokong (gluteus) yang dalam atau pada pangkal lengan (deltoid).
Cara pemakaian Cara ini baik untuk wanita yang menyusui dan dipakai segera setelah melahirkan. Suntikan pertama dapat diberikan dalam waktu empat minggu setelah melahirkan. Suntikan kedua diberikan setiap satu bulan atau tiga bulan berikutnya.
Kontra indikasi Kontrasepsi suntikan tidak diperbolehkan untuk wanita yang menderita penyakit jantung, hipertensi, hepatitis, kencing manis, paru-paru, dan kelainan darah.
Efek samping kontrasepsi suntikan
Tidak datang haid (amenorrhoe)
Perdarahan yang mengganggu
Lain-lain: sakit kepala, mual, muntah, rambut rontok, jerawat, kenaikan berat badan, hiperpigmentasi.
Norplant Norplant merupakan alat kontrasepsi jangka panjang yang bisa digunakan untuk jangka waktu 5 tahun. Norplant dipasang di bawah kulit, di atas daging pada lengan atas wanita. Alat tersebut terdiri dari enam kapsul lentur seukuran korek api yang terbuat dari bahan karet silastik. Masing-masing kapsul mengandung progestin levonogestrel sintetis yang juga terkandung dalam beberapa jenis pil KB. Hormon ini lepas secara perlahan-lahan melalui dinding kapsul sampai kapsul diambil dari lengan pemakai. Kapsul-kapsul ini bisa terasa dan kadangkala terlihat seperti benjolan atau garis-garis. ( The Boston’s Book Collective, The Our Bodies, Ourselves, 1992)
Norplant sama artinya dengan implant. Norplant adalah satu-satunya merek implant yang saat ini beredar di Indonesia. Oleh karena itu, sering juga digunakan untuk menyebut implant. Di beberapa daerah, implant biasa disebut dengan susuk.
Indonesia merupakan negara pemula dalam penerimaan norplant yang dimulai pada 1987. Sebagai negara pelopor, Indonesia belum mempunyai referensi mengenai efek samping dan permasalahan yang muncul sebagai akibat pemakaian norplant. Pada 1993, pemakai norplant di Indonesia tercatat sejumlah 800.000 orang.
Efektivitas norplant Efektivitas norplant cukup tinggi. Tingkat kehamilan yang ditimbulkan pada tahun pertama adalah 0,2%, pada tahun kedua 0,5%, pada tahun ketiga 1,2%, dan 1,6% pada tahun keempat. Secara keseluruhan, tingkat kehamilan yang mungkin ditimbulkan dalam jangka waktu lima tahun pemakaian adalah 3,9 persen. Wanita dengan berat badan lebih dari 75 kilogram mempunyai risiko kegagalan yang lebih tinggi sejak tahun ketiga pemakaian (5,1 persen).
Yang tidak diperbolehkan menggunakan norplant Wanita yang tidak diperbolehkan menggunakan norplant adalah mereka yang menderita penyakit diabetes, kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, migrain, epilepsi, benjolan pada payudara, depresi mental, kencing batu, penyakit jantung, atau ginjal. (The Boston Women’s Book Collective, 1992)
Pemasangan norplant Pemasangan norplant biasanya dilakukan di bagian atas (bawah kulit) pada lengan kiri wanita (lengan kanan bagi yang kidal), agar tidak mengganggu kegiatan. Norplant dapat dipasang pada waktu menstruasi atau setelah melahirkan oleh dokter atau bidan yang terlatih. Sebelum pemasangan dilakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu dan juga disuntik untuk mencegah rasa sakit. Luka bekas pemasangan harus dijaga agar tetap bersih, kering, dan tidak boleh kena air selama 5 hari. Pemeriksaan ulang dilakukan oleh dokter seminggu setelah pemasangan. Setelah itu, setahun sekali selama pemakaian dan setelah 5 tahun norplant harus diambil/dilepas.
Kelebihan dan kekurangan norplant Kelebihan norplant adalah masa pakainya cukup lama, tidak terpengaruh faktor lupa sebagaimana kontrasepsi pil/suntik, dan tidak mengganggu kelancaran air susu ibu. Sedangkan kekurangannya adalah bahwa pemasangan hanya bisa dilakukan oleh dokter atau bidan yang terlatih dan kadang-kadang menimbulkan efek samping, misalnya spotting atau menstruasi yang tidak teratur. Selain itu, kadang-kadang juga menimbulkan berat badan bertambah.

Tubektomi (Sterilisasi pada Wanita)
Tubektomi adalah setiap tindakan pada kedua saluran telur wanita yang mengakibatkan wanita tersebut tidak akan mendapatkan keturunan lagi. Sterilisasi bisa dilakukan juga pada pria, yaitu vasektomi. Dengan demikian, jika salah satu pasangan telah mengalami sterilisasi, maka tidak diperlukan lagi alat-alat kontrasepsi yang konvensional. Cara kontrasepsi ini baik sekali, karena kemungkinan untuk menjadi hamil kecil sekali. Faktor yang paling penting dalam pelaksanaan sterilisasi adalah kesukarelaan dari akseptor. Dengan demikia, sterilisasi tidak boleh dilakukan kepada wanita yang belum/tidak menikah, pasangan yang tidak harmonis atau hubungan perkawinan yang sewaktu-waktu terancam perceraian, dan pasangan yang masih ragu menerima sterilisasi. Yang harus dijadikan patokan untuk mengambil keputusan untuk sterilisasi adalah jumlah anak dan usia istri. Misalnya, untuk usia istri 25--30 tahun, jumlah anak yang hidup harus 3 atau lebih.

Penggunaan Kontrasepsi Menurut Umur
Umur ibu kurang dari 20 tahun:
Penggunaan prioritas kontrasepsi pil oral.
Penggunaan kondom kurang menguntungkan, karena pasangan muda frekuensi bersenggama tinggi sehingga akan mempunyai kegagalan tinggi.
Bagi yang belum mempunyai anak, AKDR kurang dianjurkan.
Umur di bawah 20 tahun sebaiknya tidak mempunyai anak dulu.

Umur ibu antara 20--30 tahun
Merupakan usia yang terbaik untuk mengandung dan melahirkan.
Segera setelah anak pertama lahir, dianjurkan untuk memakai spiral sebagai pilihan utama. Pilihan kedua adalah norplant atau pil.

Umur ibu di atas 30 tahun
Pilihan utama menggunakan kontrasepsi spiral atau norplant. Kondom bisa merupakan pilihan kedua.

Dalam kondisi darurat, metode mantap dengan cara operasi (sterlilisasi) dapat dipakai dan relatif lebih baik dibandingkan dengan spiral, kondom, maupun pil dalam arti mencegah.
Beberapa Metode Kontasepsi Baru Dengan adanya metode kontrasepsi yang baru, berarti pula memberikan lebih banyak pilihan, dapat membantu mengatasi beberapa kendala pemakaian kontrasepsi. Meskipun demikian, pengembangan kontrasepsi baru untuk menambah yang sudah ada sangat terasa kurang membawa perubahan yang positif dan inovatif. Beberapa metode yang sedang diuji klinik antara lain:
Cincin kontrasepsi

Cincin ini dimasukkan ke dalam vagina, bentuknya seperti kue donat, dan mengandung steroid, yaitu progestin atau progestin ditambah estrogen, yang dilepas ke dalam aliran darah. Cincin kontrasepsi mengandung dosis hormon yang lebih rendah dibanding dengan kontrasepsi oral. Wanita dapat memasukkan dan mengeluarkan cincin ini sendiri.

Vaksin antifertilitas reversibel
Vaksin ini menyebabkan antibodi berinteraksi dengan human chrrionic gonadotropin (HCG), suatu hormon yang memelihara kehamilan. Tanpa HCG, lapisan uterus lepas dengan membawa telur yang sudah dibuahi sehingga terjadi menstruasi.

Norplant II
Norplant II memiliki kelebihan dibanding dengan norplant yang ada sekarang, karena norplant II hanya memerlukan dua implantasi subdermal. Dengan demikian, lebih mudah memasukkan dan mengeluarkannya.
Suntikan Kontrasepsi ini menggunakan mikrosfero atau mikrokapsul. Injeksi terbuat dari satu atau lebih hormon di dalam kapsul yang dapat dibiodegrasi, yang melepaskan hormon dan menghambat ovulasi. Satu suntikan dapat melindungi satu, tiga, atau enam bulan, tergantung dari jenis komposisi kimianya.

Implantasi Transdermal
Implantasi transdermal menyebabkan pelepasan kontrasepsi steroid yang lambat dan teratur ke aliran darah melalui kulit. Wanita dapat menempatkan implant tersebut pada tubuh dan melepaskannya sesuai keinginan. Pada salah satu jenis implantasi transdermal, seorang wanita menggunakan tiga implantasi selama tiga minggu. Setiap implantasi efektif selama tujuh hari. Pada minggu berikutnya, digunakan implantasi plasebo sehingga terjadi menstruasi.

IUD bentuk T yang baru
IUD ini melepaskan lenovorgegestrel dengan konsentrasi yang rendah selama minimal lima tahun. Dari hasil penelitian menunjukkan efektivitas yang tinggi dalam mencegah kehamilan yang tidak direncanakan maupun perdarahan menstruasi. Kerugian metode ini adalah tambahan terjadinya efek samping hormonal dan amenore.

Kondom wanita
Kondom ini dikendalikan oleh wanita dan mengurangi risiko terkena penyakit menular seksual. Dari uji klinik menunjukkan bahwa kelicinan, kebocoran, kerusakan, dan hambatan efektivitasnya lebih baik dibandingkan kondom pria.

Kesimpulan dan Saran
Dalam memilih alat kontrasepsi yang tepat, sebaiknya calon akseptor diberi penjelasan tentang keuntungan dan kerugian masing-masing alat kontrasepsi, sehingga diharapkan dapat memperkecil terjadi kehamilan serta mengurangi efek samping dari alat kontrasepsi tersebut.
Penelitian yang didasarkan pada hasil mengenai manfaat dan kepercayaan akseptor yang berkaitan dengan seksualitas serta penggunaan kontrasepsi, harus dilakukan terlebih dahulu sebelum suatu metode kontrasepsi dipasarkan dan dianggap sebagai pilihan tambahan.
Untuk peningkatan dan perluasan pelayanannya, keluarga berencana dapat dimasukkan ke dalam pelayanan kesehatan reproduksi serta pelayanan kesehatan primer yang lain agar tanggap terhadap seluruh kebutuhan kesehatan reproduksi wanita. Di dalam suatu program yang terintegrasi, harus terdapat metode kontrasepsi yang dapat diterima, aman, dan efektif serta dapat dipakai wanita pada berbagai tahap kehidupan reproduksi. Metode kontrasepsi juga harus dapat diterima secara seksual maupun sosial tanpa adanya pengaruh negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan secara umum.
Apabila tersedia pilihan metode kontrasepsi yang lebih bervariasi dan pelayanan yang lebih responsif terhadap keinginan serta kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi wanita maka tujuan keluarga berencana akan mulai tercapai. Dengan demikian, diharapkan wanita merasa terpanggil untuk meningkatkan kesadaran hak seksual dan reproduksinya sebagai langkah utama menuju kesehatan yang utuh.

Daftar Pustaka
Sarwono, Sarlito Wirawan, 1979. Herman Memilih Sterilisasi, Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia, Jakarta.
Myrnawati, 1979. Mengapa Mereka Memilih Sterilisasi, Perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia, Jakarta.
Sosrohadikoesoemo, Soemiani , 1984. Pil, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Propinsi Jawa Tengah Bidang Kependudukan.
Koblinsky, Marge; Timyan, Judith; Gay, Jill, 1997. Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global, Gajah Mada University Press.
Yuarsi, Susi Eja, 1997. Norplant, Penerimaan Program dan Layanan Lanjutan, Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gajah Mada.
Jakarta, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,1980. Pedoman Praktis Pelayanan Kontrasepsi Petugas Paramedis.
Jakarta, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,1980. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim.
Melati, Mawar, 1985. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim, MajalahWarta Konsumen, Edisi Tahun ke XII , No.138, hal 5-6.
NN, 1980. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim, Majalah Bina Sejahtera, No.77, hal 20-23.

Saturday, July 14, 2007

Treatment options for erectile Dysfunction (ED)

Most experts now agree that up to 80 percent of all ED cases may be due to physical conditions1, with psychological causes accounting for the remaining 20 percent. In many cases, however, there are both physical and psychological reasons. Below are some of the risk factors or causes of ED.Risk factors and causes of EDPhysical causes of EDVascular Disease: Arteriosclerosis (hardening of the arteries caused by high cholesterol or high blood pressure), heart disease, stroke, and hypertension (high blood pressure) all affect blood flow in and out of the penis.2 Vascular disease is the most common physical cause of ED. Diabetes: This chronic condition can cause nerve damage (neuropathy) and damage to the blood vessels that supply the penis. Two out of three men with diabetes can develop ED.3Nerve diseases: Neurological conditions include spinal cord injury, multiple sclerosis, and nerve damage due to diabetes or alcoholism.2Hormonal problems: Low levels of the male hormone testosterone can result in ED.2Surgery: Surgery for colon, rectal or prostate disease and even radiation therapy in the pelvic area can damage nerves and blood vessels, which may result in ED.4Trauma:
§ Spinal cord injuries2
§ Pelvic fractures
Chronic medical conditions: If you have a chronic medical condition ask your doctor whether it might be affecting your sexual health.Side effects of medications: There is a long list of prescription medications and over-the-counter medications that have the potential side effect of ED. If you observe problems with your erection after starting a new medication, ask your doctor or healthcare provider about possible side effects of the medication and possible alternatives and solutions. Do not stop or change the dosage of any medication without advice from your doctor.2Lifestyle factorsAlcohol: Heavy drinking may immediately reduce your ability to have a strong erection. Long-term, excessive drinking can cause nerve and liver damage and hormonal imbalance.2Sedentary lifestyle: Lack of exercise can lead to ED.2Smoking: Men who smoke have a greater chance of developing ED than men who don't smoke, according to a targeted clinical study. This might be due to increased risk of developing cardiovascular disease.2Psychological causesThese can occur alone or in combination with one or more of the physical causes of ED.2Performance anxiety: When a man is anxious about his sexual performance, his erectile function can be affected.2Stress: Stress can affect sexual performance.2Depression: Men with ED can have some degree of depression and men with depression can also have ED.2Relationship problems: Tensions with your sexual partner, whether related to sexual issues or others, such as financial or family problems, can negatively affect sexual function.2

Treatment options for Erectile Dysfunction (ED)

Finding an ED treatment to suit your lifestyleThe first thing to know is that there is now a range of treatment options available, including a number of oral treatments (tablets).Clearly, there are different treatments and treatment options to suit the needs of different people. So make sure you speak to your local or family doctor about the best treatment option for you.Oral medication for EDThere are a number of tablets available in this class, known as PDE5 inhibitors. Your doctor can explain the differences between these tablets.These treatments are generally well tolerated, and work in the majority of men with mild to moderate ED. The tablets work by enhancing the normal sexual response, allowing greater blood flow to the penis.A common misconception is that men will have a permanent erection while the medication is working – this is not the case. They require sexual stimulation to work.You should obtain these tablets on prescription from your doctor and purchase through your pharmacist for personal use only.Remember that you should always talk to a doctor before commencing medical treatment to assess your individual suitability for taking these tablets or other treatments.

Friday, July 13, 2007

Sex in Marriage

If you're married or thinking about getting married, at some point or another you've wondered what better sex in marriage would be like or how sex in marriage could be improved.
Keeping the sexual spark alive in a marriage or in a long-term relationship is easier said than done. However, couples who take time to cultivate and maintain healthy and satisfying sexual relations tend to be more connected with each other and do not suffer from depression, heart problems and other health maladies, experts say.
The daily routines of life — whether careers, children or financial responsibilities — challenge couples to keep alive that flame that initially brought them together. From a practical standpoint, there's less time for sex and intimacy as relationships develop and individual partners take on more responsibilities.
Furthermore, aging brings on a host of physical conditions that can affect life in the bedroom. These include sexual dysfunction, cardiovascular conditions, arthritis and rheumatism, and a host of other problems.
Whatever the reasons for brewing trouble in the bedroom — whether emotional or physical in nature — the good news is that many such problems are easily treated. Moreover, troubles in a couple's sexual relationship are often signs of other problems, and can serve as a warning sign for still bigger troubles ahead.
"A good sex life is an important part of an individual's overall health," says Mark Schoen, Ph.D., director of sex education for the Sinclair Intimacy Institute. "People who have a good sex life feel better [mentally and physically]."
"Sex can be a wonderful cementer or a terrible wedge" for relationships, says Dr. Linda Banner, Ph.D., a licensed sex therapist specializing in marriage and relationship counseling and a researcher associated with Stanford University Medical School.
Adults Have Sex 61 Times a YearAdults, on average, have sex about 61 times per year, or slightly more than once a week, according to University of Chicago's National Opinion Research Center. Marital status and age are key influences in sexual activity.
Sexual activity is 25 percent to 300 percent greater for married couples versus the non-married, depending on age. The 1998 University of Chicago report that compiled available sex research also concluded that intercourse is more frequent among couples in happier marriages.

Libido


Libido is the term that the noted founder of psychoanalysis, Sigmund Freud, used to label the sexual drive or sexual instinct. He noted that the sexual drive is characterized by a gradual buildup to a peak of intensity, followed by a sudden decrease of excitement.
As he studied this process in his patients, Freud concluded that various activities like eating and drinking, as well as urination and defecation share this common pattern. Consequently, he regarded these behaviors as sexual or libidinous as well.
Freud also became interested in the development of the libido, which he saw as the basic and most powerful human drive. He believed that the development of the libido involved several distinct and identifiable stages.
Freud's Theory on How Libido DevelopsDuring infancy, he noted, sexual drive is focused on the mouth, primarily manifested in sucking. He labeled this the oral stage of libidinous development. During the second and third years of a child's life, as the child is undergoing toilet training, focus and erotically tinged pleasure shifts to rectal functions. Freud labeled this the anal stage.
Later, during puberty, focus shifts again to the sex organs, a period of development he labeled the phallic stage in the maturation of the libido.
During the later stage of development, libidinal drives focus at first on the parent of the opposite sex and add an erotic coloring to the child's experience of his/her parents. Parental disapproval of uncontrolled libidinal drive, Freud believed,leads to the development of a human psyche that is made up of three components; the id, the ego and the superego. He concluded that the id, or basic set of instincts and drives (including the libido but also other drives like aggression), provides the psychic energy needed to initiate activities.
The ego, an executive function, directs the day-to-day fulfillment of libidinous and other desires in socially acceptable and achievable ways.
The superego labels the learned and internalized social standards of behavior, including an awareness of banned or punishable behaviors. During wakeful periods, strong boundaries separate these three arenas, but during sleep and fantasy the boundaries weaken, giving rise to open expression of otherwise controlled libidinous desires. Conscious awareness of these unrestrained desires and fantasies can cause the person to feel sexual guilt or shame.
Freud believed that an individual's personality is established early on in life and is determined by the ways in which basic drives and impulses such as libido are satisfied. Failure to satisfy libidinal and other drives leads to their repression with resulting consequences for the development of an individual's personality and psychological health.

Health Sexual Intercourse

Sexual intercourse, or coitus, refers in a strict biological sense to the insertion of the male's penis into the female's vagina for the purpose of reproduction. Sexual intercourse is found among all mammalian species.
Intercourse has traditionally been viewed as the natural endpoint of all sexual contact between a man and a woman. However, the meaning of the term has been broadened in recent years to include a wider range of behaviors and a wider set of motivations and intentions.
In both popular and professional usage, intercourse now labels at least three different sex acts, two of which are not directly tied to conceiving a child. These three types of intercourse are: vaginal intercourse, involving vaginal penetration by the penis, possibly to the point of male ejaculation and female orgasm; oral intercourse, involving oral caress of the sex organs (male or female), possibly to the point of orgasm; and anal intercourse, involving insertion of the male's penis into his partner's anus. The latter two of these behaviors may be the endpoints of a sexual encounter or they may be acts of foreplay leading to each other or to vaginal intercourse.
Moreover, intercourse is not limited to partnerships between individuals of opposite genders. Same-sex or homosexual encounters, involving oral or anal penetration or stimulation, are also referred to as sexual intercourse. Some also include digital (use of fingers or hands) intercourse or mutual masturbation as yet another form of intercourse.
Sexual Intercourse — The Most Intimate BehaviorIn addition to recognizing a wider array of behaviors as constituting different types of intercourse, sex researchers and therapists have come to recognize that humans engage in sexual intercourse for many reasons beyond procreation. Sexual intercourse is among the most intimate behaviors possible between two people, and, for many people, it is also one of the most pleasurable and emotionally satisfying.
All of the types of intercourse mentioned above may produce orgasm for one or both partners. Orgasm is a complex physical and emotional release that can last from a few seconds to over a minute. Generally, it is followed by a significant sense of well-being and both physical and emotional relaxation.
While the experience of orgasm is generally similar among men and women, there are some differences. Male orgasm commonly follows a series of penile thrusts, rhythmic contractions of the prostate gland and the set of muscles surrounding the penis, testicle elevation, and ejaculation of semen from the penis. For almost all males, ejaculation is followed by a recovery period (that tends to grow longer with age) before it is possible to ejaculate again.
Female orgasm is variable, ranging from a single brief period of mildly pleasurable contractions of the uterine and vaginal walls to multiple episodes (approximately 0.8 seconds apart) of physically intense waves that cover the entire body and can last for long periods of time.
Copyright 2002 Sinclair Intimacy Institute

Thursday, July 12, 2007


The male condom is a barrier contraceptive made of latex or polyurethane. The condom must be fitted over the erect penis. The condom is sold over-the-counter and when used properly is an inexpensive, effective barrier to pregnancy and sexually-transmitted disease.

Sexual Disorders

Sexual dysfunctions are disorders related to a particular phase of the sexual response cycle. For example, sexual dysfunctions include sexual desire disorders, sexual arousal disorders, orgasm disorders, and sexual pain disorders. If a person has difficulty with some phase of the sexual response cycle or a person experiences pain with sexual intercourse, he/she may have a sexual dysfunction. Examples of sexual dysfunctions include:

Hypoactive Sexual Desire Disorder
This disorder may be present when a person has decreased sexual fantasies and a decreased or absent desire for sexual activity. In order to be considered a sexual disorder the decreased desire must cause a problem for the individual. In this situation the person usually does not initiate sexual activity and may be slow to respond to his/her partner's sexual advances. This disorder can be present in adolescents and can persist throughout a person's life. Many times, however, the lowered sexual desire occurs during adulthood, often times following a period of stress.

Sexual Aversion Disorder
A person who actively avoids and has a persistent or recurrent extreme aversion to genital sexual contact with a sexual partner may have sexual aversion disorder. In order to be considered a disorder, the aversion to sex must be a cause of difficulty in the person's sexual relationship. The individual with sexual aversion disorder usually reports anxiety, fear, or disgust when given the opportunity to be involved sexually. Touching and kissing may even be avoided. Extreme anxiety such as panic attacks may actually occur. It is not unusual for a person to feel nauseated, dizzy, or faint.

Female Sexual Arousal Disorder
Female sexual arousal disorder is described as the inability of a woman to complete sexual activity with adequate lubrication. Swelling of the external genitalia and vaginal lubrication are generally absent. These symptoms must cause problems in the interpersonal relationship to be considered a disorder. It is not unusual for the woman with female sexual arousal disorder to have almost no sense of sexual arousal. Often, these women experience pain with intercourse and avoid sexual contact with their partner.

Male Erectile Disorder
If a male is unable to maintain an erection throughout sexual activity, he may have male erectile disorder. This problem must be either persistent or recurrent in nature. Also, the erectile disturbance must cause difficulty in the relationship with the sexual partner to be defined as a disorder. Some males will be unable to obtain any erection. Others will have an adequate erection, but lose the erection during sexual activity. Erectile disorders may accompany a fear of failure. Sometimes this disorder is present throughout life. In many cases the erectile failure is intermittent and sometimes dependent upon the type of partner or the quality of the relationship.

Female Orgasmic Disorder
Female orgasmic disorder occurs when there is a significant delay or total absence of orgasm associated with the sexual activity. This condition must cause a problem in the relationship with the sexual partner in order to be defined as a disorder.

Male Orgasmic Disorder
When a male experiences significant delay or total absence of orgasm following sexual activity, he may have male orgasmic disorder. In order to be qualified as a disorder, the symptoms must present a significant problem for the individual.

Premature Ejaculation
When minimal sexual stimulation causes orgasm and ejaculation on a persistent basis for the male, he is said to have premature ejaculation. The timing of the ejaculation must cause a problem for the person or the relationship in order to be qualified as a disorder. Premature ejaculation is sometimes seen in young men who have experienced premature ejaculation since their first attempt at intercourse.

Dyspareunia
Dyspareunia is a sexual pain disorder. Dyspareunia is genital pain that accompanies sexual intercourse. Both males and females can experience this disorder, but the disorder is more common in women. Dyspareunia tends to be chronic in nature.

What can people do if they need help?If you, a friend, or a family member would like more information and you have a therapist or a physician, please discuss your concerns with that person.